Zonabeku yang terletak di utara Greenland mengalami penyusutan es secara Saturday,28 Jumadil Awwal 1443 / 01 January 2022 Jadwal Shalat. Mode Layar. Al-Quran Digital Digital Syariah Bisnis Finansial Migas pertanian Global. republikbola.
- Pemanasan global membuat es di Antartika, Kutub Selatan mencair lebih cepat dibandingkan sebelumnya–kira-kira meningkat enam kali lipat dibanding 40 tahun lalu. Dilansir dari peningkatan laju cairnya es ini akan membuat permukaan air laut di seluruh dunia semakin naik. Baca Juga Paus Terancam Punah Ditemukan dengan Sampah Plastik di Tenggoroknya Menurut sebuah studi yang dipublikasikan pada Proceedings of the National Academy of Sciences, dari 1979 hingga 2017, permukaan laut di seluruh dunia sudah meningkat lebih dari 1,4 sentimeter. Kondisinya pun diduga semakin parah di masa mendatang dan menyebabkan bencana pada beberapa wilayah. “Sejalan dengan terus mencairnya lapisan es di Kutub Selatan, kami mengantisipasi naiknya permukaan laut lebih dari satu meter pada abad-abad mendatang,” kata Eric Rignot, ahli geografi dari Universitas California. Peningkatan permukaan laut setinggi 1,8 meter menjelang 2100 diduga akan menenggelamkan beberapa kota pesisir yang menjadi tempat tinggal jutaan orang di seluruh dunia. Peneliti menemukan bahwa antara 1979 hingga 1990, Kutub Selatan rata-rata telah kehilangan 40 miliar ton masa esnya setiap tahun. Sementara itu, mulai 2009 hingga 2017, es yang mencair telah meningkat enam kali lipat, yaitu menjadi 252 milar ton per tahun. Baca Juga Asteroid Pemusnah Dinosaurus Picu Tsunami Besar di Seluruh Laut Dunia Yang lebih mengkhawatirkan, menurut para lmuwan, wilayah di Kutub Selatan yang dulunya dianggap “stabil dan tidak terpengaruh perubahan” ternyata juga kehilangan es dalam jumlah banyak. “Area Wilkes Land di Kutub Selatan bagian timur, secara keseluruhan, juga telah mengalami kehilangan es dalam jumlah besar, bahkan sejak 1980-an,” papar Rignot, dikutip dari “Kawasan tersebut mungkin lebih sensitif terhadap perubahan iklim dibanding yang kita kira sebelumnya. Hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk diketahui, karena kandungan es di kawasan itu lebih besar dibandingkan gabungan Kutub Selatan bagian Barat dan Semenanjung Kutub Selatan,” imbuhnya. Menurut Rignot, meningkatnya suhu samudra semakin mempercepat hilangnya es di masa yang akan datang. Diketahui bahwa, suhu samudra akhir-akhir ini meningkat lebih cepat dari sebelumnya–mencapai rekor suhu tertinggi dalam beberapa tahun terakhir. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Disamping menghancurkan rumah, kehidupan tumbuhan dan hewan, kebakaran hutan juga berkontribusi terhadap pemanasan global, menurut sebuah studi baru yang dikutip oleh Daily Mail, baru-baru ini. Para peneliti dari Universitas Tianjin mengungkapkan, 'karbon coklat' (brown carbon) yang dilepaskan selama kebakaran hutan di belahan bumi utara
Pixabay Pemanasan global telah menyebabkan cuaca musim dingin yang lebih ekstrem. Fenomena itu yang disebut sebagai "Benua Arktika-Dingin Hangat" WACC, dan mereka menyelidiki bagaimana hubungan ini berubah dengan iklim yang menghangat. Dalam studi mereka, para peneliti melihat data iklim historis kemudian beralih ke model proyeksi iklim. Mereka mengeksplorasi hubungan potensial dan menilai bagaimana fenomena ini dapat dipengaruhi oleh berbagai skenario pemanasan global. Mereka menggunakan data iklim dari European Center for Medium-Range Weather Forecasting ECMWF selama hampir 40 tahun. Berdasarkan data itu para peneliti mengorelasikan suhu musim dingin di Asia Timur dan Amerika Utara dengan suhu Laut Barents-Kara dan Laut Siberia Timur-Chukchi di wilayah Arktika. Mereka mengamati bahwa suhu musim dingin yang lebih rendah di Asia Timur dan Amerika Utara biasanya disertai dengan suhu Laut Arktik yang lebih hangat. Namun, mereka juga menemukan bahwa di beberapa musim dingin, seperti musim dingin 2017/18 di Asia Timur, pola ini tidak berlaku. Temuan mereka menunjukkan bahwa keterkaitan tersebut mencakup ketidakpastian yang mungkin disebabkan oleh faktor selain suhu Laut Arktika. Meskipun demikian, dengan menggunakan proyeksi iklim dari percobaan Half degree Additional warming, Prognosis and Projected Impacts HAPPI, para peneliti menemukan bahwa pola WACC tetap bertahan bahkan ketika suhu global naik. HAPPI merupakan peranti yang ditargetkan untuk memproyeksikan iklim masa depan di bawah skenario pemanasan 1,5°C hingga 2°C. Namun, mereka menemukan bahwa korelasi antara suhu Laut Arktika dan suhu Asia Timur menjadi semakin tidak pasti dengan intensifikasi pemanasan global. “Kami menemukan bahwa hubungan antara pemanasan Arktik dan kejadian cuaca dingin di garis lintang tengah akan menjadi lebih tidak pasti di bawah iklim yang lebih hangat, menantang perkiraan suhu musim dingin di masa mendatang,” kata Yungi Hong, mahasiswa di GIST dan anggota tim peneliti. Baca Juga Peristiwa Cuaca Ekstrem Memicu Timbulnya Ancaman Penyakit Kulit Baca Juga Ilmuwan PBB Peringatkan Dunia Harus Segera Hentikan Baca Juga Kekerasan terhadap Perempuan Diperkirakan Naik seiring Cuaca Ekstrem Baca Juga Squall Line, Awan Hujan Badai Ekstrem yang Dipicu Perubahan Iklim “Studi kami menunjukkan bahwa sementara seseorang dapat mengharapkan gelombang dingin yang memicu pemanasan Arktik di garis lintang tengah untuk bertahan di masa depan yang lebih hangat, mereka akan menjadi lebih sulit untuk diprediksi,” tambah Prof. Jin-Ho Yoon. Peristiwa Arktika yang hangat di bawah iklim yang lebih hangat akan dikaitkan tidak hanya dengan benua yang lebih dingin di Asia Timur tetapi juga dengan benua yang lebih hangat. Fenomena ini bergantung pada proses telekoneksi yang juga diperumit oleh Arktika yang lebih hangat. Hasil penelitian ini menyoroti pentingnya upaya berkelanjutan untuk lebih memahami interaksi antara pemanasan Arktika dan iklim garis lintang tengah. Temuan ini sebagai sarana untuk menemukan prediktor alternatif untuk peristiwa cuaca musim dingin ekstrem yang akan datang. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Merapimeletus. Lempek seismik diduga makin aktif akibat mencairnya es di kutub. Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, diterjang tsunami. Merapi meletus. Lempek seismik diduga makin aktif akibat
- Ilmuwan, negarawan dan masyarakat Islandia baru-baru ini memasang plakat peringatan di gletser Okjökull yang kehilangan lapisan es dan statusnya sebagai gletser akibat pemanasan global oleh aktivitas manusia. Dalam monumen tersebut tertulis peringatan bahwa dalam 200 tahun mendatang, umat manusia akan menyaksikan gletser-gletser lainnya mengikuti jejak Okjökull. NASA Mencairnya es di gletser Thwaites bertanggung jawab atas kenaikan permukaan laut dunia. Sebuah plakat diletakkan sebagai peringatan atas hilangnya gletser Okjökull glacier karena perubahan iklim. Rice University, CC BY-SA Indonesia juga memiliki gletser seperti Islandia, yaitu di Pegunungan Jayawijaya. Tidak kurang dari 84,9% dari massa es di Pegunungan Jayawijaya telah mencair sejak tahun 1988, sehingga warisan alam ini pun diprediksi akan hilang dalam dekade mendatang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dampak perubahan iklim oleh emisi gas rumah kaca tidak hanya menyentuh gletser yang hanya ada satu-satunya di Indonesia ini, tetapi juga laut yang luasnya meliputi 70% dari wilayah Indonesia dan kedalamannya melebihi ketinggian Puncak Jaya. Baru-baru ini panel ilmuwan PBB untuk isu perubahan iklim atau IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change merilis Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing_Climate SROCC, kajian terkait dengan kondisi laut dan kriosfer gletser, lapisan es, dsb di dunia. Saat ini saya terlibat dalam penulisan laporan iklim PBB mendatang atau Sixth Asessment Report untuk aspek kelautan, kriosfer dan kenaikan permukaan laut. Berikut penjelasan saya terkait hasil-hasil kajian SROCC yang perlu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Laut semakin panas, semakin asam, dan semakin berkurang kadar oksigennya Sejumlah 104 pakar iklim dari 36 negara mengkaji status dan proyeksi dampak perubahan iklim terhadap laut dan kriosfer serta implikasinya bagi ekosistem dan manusia berdasarkan publikasi ilmiah. Hasil penelitian para ahli iklim mengungkap bahwa mencairnya lapisan es yang bermuara pada naiknya permukaan laut secara global merupakan satu dari beberapa efek domino dari perubahan iklim. Laporan IPCC menunjukkan, secara persisten, perubahan iklim menyebabkan laut semakin panas, semakin asam dan kekurangan kadar oksigen. Kenaikan permukaan laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil tidak hanya terus terjadi, namun lajunya juga semakin cepat. Fenomena iklim esktrem seperti gelombang panas laut marine heatwave akan semakin sering terjadi dengan intensitas dan durasi yang meningkat terutama di daerah tropis. Begitu pula dengan fenomena ekstrem El Niño-Osilasi Selatan yang membawa bencana kekeringan dan banjir di Indonesia. Dampak bagi Indonesia Sumber daya laut yang tergeser, tertekan dan berkurang Laporan SROCC mengisyaratkan beberapa catatan penting terkait dampak perubahan iklim bagi Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan tropis. Pertama, keanekaragaman hayati laut menjadi taruhan. Perubahan iklim turut mengubah ritme musiman dan distribusi spesies laut. Sejak tahun 1950an, secara global, spesies laut yang biasa hidup di kedalaman kurang dari 200 meter berpindah menjauhi kawasan tropis sejauh kurang lebih 52 kilometer per dekade. Hal serupa juga terjadi pada spesies-spesies laut dalam. Mengingat beragamnya spesies laut di Indonesia, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang ritme musiman dan distribusi tersebut. Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan mangrove. Kondisi ini berpengaruh bagi Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Menurunnya jasa ekosistem lamun dan mangrove dapat mengurangi peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon. Ketiga, pemanasan laut dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia apabila emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada stok ikan dan binatang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster. Tidak semua salah perubahan pada iklim Untuk dapat mengambil langkah adaptasi yang efektif, kita perlu memahami berbagai penyebab degradasi lingkungan laut yang tidak selalu disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu contoh klasik adalah kenaikan permukaan laut di Jakarta yang lebih banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah karena penyedotan air tanah. Contoh lainnya, SROCC membedakan fenomena pengasaman atau penurunan pH air laut antara pengasaman laut ocean acidification dan pengasaman pesisir coastal acidification. Pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir oleh aktivitas lokal manusia seperti pembuangan limbah, sehingga laju pengasaman air laut lebih tinggi dari tren global. Solusi-solusi lokal seperti penanggulangan limbah yang efektif dan restorasi ekosistem lamun yang mempengaruhi pH air laut secara lokal dapat mengurangi dampak dari pengasaman air laut bagi masyarakat sekitar. SROCC dan negosiasi iklim SROCC menjadi masukan ilmiah penting bagi negosiasi iklim dalam UN Framework Convention on Climate Change Conference COP25 di Chile pada bulan Desember 2019 yang akan mengangkat tema kelautan atau Blue COP’. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki peran penting dalam mengambil langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim. Dalam laporan SROCC dipaparkan juga keuntungan yang diraih dari strategi adaptasi perubahan iklim yang ambisius dan efektif, seperti perlindungan terhadap masyarakat pesisir terutama daerah padat populasi atas dampak naiknya permukaan laut, yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan daratan yang menjadi penyebab dan korban dari perubahan iklim, SROCC memaparkan bahwa laut adalah korban dari perubahan iklim. Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memiliki implikasi bagi komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati maupun pemenuhan target Sustainable Development Goals. Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut dari berbagai tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kajian ilmiah yang tertuang dalam SROCC, Blue COP serta UN Decade of Ocean Science 2021-2030 adalah momentum untuk melakukan langkah-langkah non business-as-usual dan inklusif yang akan diapresiasi oleh generasi mendatang. Penulis Intan Suci Nurhati, Peneliti Iklim & Laut, Indonesian Institute of Sciences LIPI Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Esdi kutub mencair karena suhu yang meningkat di wilayah tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa titik beku air adalah 0 derajat celcius, maka apabila suhu di Kutub Utara diatas 0 derajat celcius es di kutub tersebut akan mencair. Kenaikan suhu di kawasan ini adalah dampak pemanasan global (global warming) yakni suatu proses
Ilmuwan, negarawan dan masyarakat Islandia baru-baru ini memasang plakat peringatan di gletser Okjökull yang kehilangan lapisan es dan statusnya sebagai gletser akibat pemanasan global oleh aktivitas manusia. Dalam monumen tersebut tertulis peringatan bahwa dalam 200 tahun mendatang, umat manusia akan menyaksikan gletser-gletser lainnya mengikuti jejak Okjökull. Sebuah plakat diletakkan sebagai peringatan atas hilangnya gletser Okjökull glacier karena perubahan iklim. Rice University, CC BY-SA Indonesia juga memiliki gletser seperti Islandia, yaitu di Pegunungan Jayawijaya. Tidak kurang dari 84,9% dari massa es di Pegunungan Jayawijaya telah mencair sejak tahun 1988, sehingga warisan alam ini pun diprediksi akan hilang dalam dekade mendatang. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dampak perubahan iklim oleh emisi gas rumah kaca tidak hanya menyentuh gletser yang hanya ada satu-satunya di Indonesia ini, tetapi juga laut yang luasnya meliputi 70% dari wilayah Indonesia dan kedalamannya melebihi ketinggian Puncak Jaya. Baru-baru ini panel ilmuwan PBB untuk isu perubahan iklim atau IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change merilis Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing_Climate SROCC, kajian terkait dengan kondisi laut dan kriosfer gletser, lapisan es, dsb di dunia. Saat ini saya terlibat dalam penulisan laporan iklim PBB mendatang atau Sixth Asessment Report untuk aspek kelautan, kriosfer dan kenaikan permukaan laut. Berikut penjelasan saya terkait hasil-hasil kajian SROCC yang perlu menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Laut semakin panas, semakin asam, dan semakin berkurang kadar oksigennya Sejumlah 104 pakar iklim dari 36 negara mengkaji status dan proyeksi dampak perubahan iklim terhadap laut dan kriosfer serta implikasinya bagi ekosistem dan manusia berdasarkan publikasi ilmiah. Hasil penelitian para ahli iklim mengungkap bahwa mencairnya lapisan es yang bermuara pada naiknya permukaan laut secara global merupakan satu dari beberapa efek domino dari perubahan iklim. Laporan IPCC menunjukkan, secara persisten, perubahan iklim menyebabkan laut semakin panas, semakin asam dan kekurangan kadar oksigen. Kenaikan permukaan laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil tidak hanya terus terjadi, namun lajunya juga semakin cepat. Fenomena iklim esktrem seperti gelombang panas laut marine heatwave akan semakin sering terjadi dengan intensitas dan durasi yang meningkat terutama di daerah tropis. Begitu pula dengan fenomena ekstrem El Niño-Osilasi Selatan yang membawa bencana kekeringan dan banjir di Indonesia. Read more Indonesia perlu lebih banyak penelitian dampak sampah plastik di laut Dampak bagi Indonesia Sumber daya laut yang tergeser, tertekan dan berkurang Laporan SROCC mengisyaratkan beberapa catatan penting terkait dampak perubahan iklim bagi Indonesia sebagai negara kepulauan di kawasan tropis. Pertama, keanekaragaman hayati laut menjadi taruhan. Perubahan iklim turut mengubah ritme musiman dan distribusi spesies laut. Sejak tahun 1950an, secara global, spesies laut yang biasa hidup di kedalaman kurang dari 200 meter berpindah menjauhi kawasan tropis sejauh kurang lebih 52 kilometer per dekade. Hal serupa juga terjadi pada spesies-spesies laut dalam. Mengingat beragamnya spesies laut di Indonesia, maka perlu ada penelitian lebih lanjut tentang ritme musiman dan distribusi tersebut. Kedua, laporan SROCC menekankan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling sensitif dibandingkan dengan ekosistem lainnya seperti padang lamun dan mangrove. Kondisi ini berpengaruh bagi Indonesia yang memiliki padang lamun terluas di Asia Tenggara dan 23% mangrove di dunia. Menurunnya jasa ekosistem lamun dan mangrove dapat mengurangi peran ekosistem laut pesisir dalam menyerap emisi karbon. Ketiga, pemanasan laut dapat menambah beban sektor perikanan dalam menghadapi isu overfishing dengan menekan potensi tangkapan ikan maksimal hingga sekitar 30% di perairan Indonesia apabila emisi gas rumah kaca dibiarkan meningkat sepanjang abad 21. Kombinasi antara pemanasan dan pengasaman laut juga berdampak negatif pada stok ikan dan binatang bercangkang, seperti kerang mutiara dan lobster. Tidak semua salah perubahan pada iklim Untuk dapat mengambil langkah adaptasi yang efektif, kita perlu memahami berbagai penyebab degradasi lingkungan laut yang tidak selalu disebabkan oleh perubahan iklim. Salah satu contoh klasik adalah kenaikan permukaan laut di Jakarta yang lebih banyak disebabkan oleh penurunan permukaan tanah karena penyedotan air tanah. Contoh lainnya, SROCC membedakan fenomena pengasaman atau penurunan pH air laut antara pengasaman laut ocean acidification dan pengasaman pesisir coastal acidification. Pengasaman laut merujuk kepada penurunan tingkat keasaman air laut akibat reaksi antara gas rumah kaca CO2 dan air laut. Namun, di kawasan perairan Indonesia juga terjadi pengasaman pesisir oleh aktivitas lokal manusia seperti pembuangan limbah, sehingga laju pengasaman air laut lebih tinggi dari tren global. Solusi-solusi lokal seperti penanggulangan limbah yang efektif dan restorasi ekosistem lamun yang mempengaruhi pH air laut secara lokal dapat mengurangi dampak dari pengasaman air laut bagi masyarakat sekitar. Read more Kisah para pahlawan pesisir Indonesia dari merusak menjadi melindungi SROCC dan negosiasi iklim SROCC menjadi masukan ilmiah penting bagi negosiasi iklim dalam UN Framework Convention on Climate Change Conference COP25 di Chile pada bulan Desember 2019 yang akan mengangkat tema kelautan atau Blue COP’. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki peran penting dalam mengambil langkah yang konkret dan realistis terhadap isu perubahan iklim. Dalam laporan SROCC dipaparkan juga keuntungan yang diraih dari strategi adaptasi perubahan iklim yang ambisius dan efektif, seperti perlindungan terhadap masyarakat pesisir terutama daerah padat populasi atas dampak naiknya permukaan laut, yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Berbeda dengan daratan yang menjadi penyebab dan korban dari perubahan iklim, SROCC memaparkan bahwa laut adalah korban dari perubahan iklim. Kondisi laut yang semakin panas, asam dan kekurangan kadar oksigen memiliki implikasi bagi komitmen Indonesia dalam perlindungan keanekaragaman hayati maupun pemenuhan target Sustainable Development Goals. Hal ini karena menurunnya kemampuan menjaga biodiversitas laut dari berbagai tekanan lingkungan, potensi mitigasi gas rumah kaca dari sektor kelautan, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kajian ilmiah yang tertuang dalam SROCC, Blue COP serta UN Decade of Ocean Science 2021-2030 adalah momentum untuk melakukan langkah-langkah non business-as-usual dan inklusif yang akan diapresiasi oleh generasi mendatang.
Mencairnyaes di kutub disinyalir hasil dari global warming yang disebabkan gas buang/emisi industri. Hubungan sebab akibat di atas adalah keterkaitan - 1646 RaisyaDewitaSS RaisyaDewitaSS
- Sekitar 99% air tawar yang ada di Bumi berada di atas Greenland dan Antartika yang membeku. Namun kini, mereka mulai mencair ke laut dalam jumlah banyak. Normalnya, perlu ratusan hingga ribuan tahun bagi semua es yang ada di Bumi untuk mencair, tapi bagaimana jika ada suatu bencana yang membuatnya meleleh dalam waktu semalam?Permukaan laut akan naik setinggi 66 meter. Kota-kota pesisir seperti New York, Shanghai, dan London akan tenggelam dalam banjir besar-memaksa 40% populasi dunia untuk meninggalkan rumah mereka. Saat kekacauan terjadi di daratan, sesuatu yang menyeramkan juga berlangsung di bawah laut. Semua air asin akan menyusup dan mencemari cadangan air tawar di daratan. Artinya, cadangan air minum, irigasi, hingga sistem pembangkit listrik akan rusak. Baca Juga Sesuai Namanya, Zona Kematian di Everest Ini Kerap Memakan Korban Yang tak kalah penting, es di Greenland dan Antartika terbuat dari air tawar, jadi ketika mereka mencair, ada sekitar 69% cadangan air di dunia yang langsung menuju laut. Ini akan mendatangkan malapetaka pada arus laut dan pola cuaca kita. Pada Gulf Stream, misalnya. Ia merupakan arus laut kuat yang membawa udara hangat ke Eropa Utara dan bergantung pada air asin yang tebal dari Kutub Utara untuk berfungsi. Namun, jika banjir air tawar terjadi, itu akan mencairkan, melemahkan atau bahkan menghentikan arusnya sama sekali. Kemudian, tanpa udara hangat tersebut, suhu di Eropa Utara akan menurun drastis dan menciptakan zaman es mini. Beralih dari Greenland dan Antartika, apa yang akan terjadi dengan 1% es yang bukan bagian dari mereka? Gletser di Himalaya mungkin akan menimbulkan ancaman terbesar karena apa yang terperangkap di dalamnya senyawa beracun dichlorodiphenyltrichloroethane atau DDT. Ketika mencair, gletser akan melepaskan senyawa tersebut ke sungai, danau, cadangan air tanah dan kemudian meracuninya. Selain gletser, 1% es tadi juga meliputi permafrost yang berada di bawah tanah-kebanyakan di tundra Arktika. Mirip dengan gletser Himalaya, salah satu masalah yang muncul dengan pencairan permafrost adalah keracunan merkuri. Selain itu, bahan organik dalam permafrost adalah makanan lezat untuk mikroorganisme. Setelah mencernanya, mereka akan mengeluarkan gas rumah kaca paling ampuh, karbondioksida dan metana. Menurut para ilmuwan, ini akan menggandakan jumlah gas rumah kaca yang ada saat ini di atmosfer-menyebabkan kenaikan suhu global 3,5 derajat Celsius. Tidak cukup hanya itu, uap dari suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan kekeringan massal dan iklim seperti gurun. Semua uap air ekstra di atmosfer juga akan memicu badai dan banjir yang lebih sering dan kuat. Es dunia mencair dalam satu malam memang terdengar mustahil, tapi menurut peneliti, jika kita tidak melakukan hal apa pun untuk mencegahnya dan suhu meningkat hingga 1 derajat Celsius, maka efek perubahan iklim yang sudah kita lihat saat ini mungkin benar-benar tidak bisa dikendalikan. PROMOTED CONTENT Video Pilihan
Mencairnyaes di kutub disinyalir hasil dari global warming disebabkan gas buang/emisi industri.Hubungan sebab akibat diatas adalah keterkaitan aspek? Tinggalkan komentar Batalkan balasan. Komentar. Nama Surel Situs web. Simpan nama, email, dan situs web saya pada peramban ini untuk komentar saya berikutnya.
Mencairnya lapisan es di Kutub Utara dan selatan terus-menerus sebagai dampak dari perubahan iklim, sudah sejak lama diketahui. Tapi kesimpulan terbaru dari hasil penelitian tim riset Jerman memicu kejutan baru. Diramalkan, bagian es di Kutub Selatan yang tidak diperhitungkan mencair, juga akan ikut terpengaruh pemanasan global. Kawasan Kutub Selatan ibaratnya benua tersendiri yang mencakup daratan dan lautan yang tertutup lapisan es abadi. Juga mencakup lapisan es yang mengapung di lautan seluas ratusan ribu kilometer persegi, hingga sejauh kilometer di lautan dan terus terhubung dengan gletsyer di daratan. Walaupun suhunya ekstrim dingin dan selama enam bulan gelap gulita, Kutub Selatan bukan kawasan mati. Kawasan Antartika merupakan sebuah ekosistem yang hidup. Di atas lapisan es berkembang biak pinguin. Di daratan terdapat habitat beragam penghuni kutubselatanFoto picture-alliance/Wildlife Di kawasan perairan Kutub Selatan hidup kawanan anjing laut, paus dan yang amat penting ikan serta organisme mikro di laut seperti krill atau udang kecil, yang berfungsi sebagai pakan binatang pemangsa lainnya. Mencair di kawasan yang tidak diduga Perubahan iklim yang memicu efek pemanasan global, juga terasa dampaknya di kawasan Kutub Selatan. Seperti di Kutub Utara, lapisan es abadi di kawasan Kutub Selatan juga mengalami pencairan. Airnya mengalir ke laut di sekitarnya yang memicu kenaikan muka air laut rata-rata. Selama ini para peneliti memperkirakan pencairan lapisan es abadi hanya terjadi di kawasan laut Amundsen di barat Kutub selatan. Tapi secara kebetulan peneliti Jerman, Hartmut Hellmer dari institut penelitian kutub dan kelautan di Bremerhaven mengamati kenyataan yang selama ini kelihatannya terabaikan oleh peneliti lain. Pakar ilmu kelautan itu mengungkapkan, penghitungan ulang model komputer kontribusi lapisan es dari daratan terhadap kenaikan muka air laut di Antartika menunjukkan, kurva statistiknya mulai tahun 2090 naik tajam. Hartmut Hellmer mencari dari mana asalnya volume air dalam jumlah besar itu pada model yang ia buat. Penelitian mengarah ke lapisan es Filchner-Ronne yang mengapung di kawasan laut Weddell di bagian selatan Antartika. Laut Weddell terletak di kawasan ujung selatan Amerika Selatan pada perbatasan Samudra Atlantik dengan zona Kutub es yang terus mencair akibat perubahan AP "Laut Weddell sejak lama dipandang sebagai nyaris tidak terpengaruh perubahan iklim", kata Hellmer. Publikasi para peneliti Kutub selatan lainnya menegaskan, massa air di bawah lapisan es yang mengapung, yang mengabrasi lapisan es dari bawah, pada iklim yang lebih hangat seharusnya lebih kecil. "Melalui efek berkebalikan, yang muncul pada arus dimana suhu lebih hangat, seharusnya pemanasan iklim di kawasan itu dikompensasi", paparnya. Tapi model penghitungan dari para peneliti di Bremerhaven menunjukkan, juga kawasan Laut Weddell terpengaruh efek fluktuasi iklim. "Massa air yang lebih hangat diLaut Weddell dalam beberapa dekade mendatang akan menggerus secara dramatis lapisan es Filchner-Ronne", ujar Hellmer. Memicu reaksi berantai Naiknya suhu udara di kawasan tenggara Laut Weddell menurut perhitungan itu, dalam waktu sekitar 60 tahun ke depan akan memicu reaksi berantai. Mula-mula udara hangat akan menyebabkan menipis dan rapuhnya lapisan es yang mengapung di laut. Akibatnya ada bagian yang pecah, sebuah fenomena yang selama ini dapat dicegah. Akibatnya air yang bersuhu lebih hangat dapat mengintrusi kawasan di bawah lapisan es. "Berdasarkan perhitungan kami, lapisan pelindung ini akan lenyap pada akhir abad ini", papar Hellmer. Akibatnya arus air yang lebih panas akan mengalir di bawah lapisan es dan mencairkannya dari bawah, demikian ditunjukkan dalam model yang dibuat para peneliti di Bremerhaven. Lapisan es yang mengapung itu berfungsi seperti sumbat botol. "Lapisan ini mengerem aliran es dari daratan, karena tersedimentasi di semua sudut teluk dan juga menutupi pulau-pulau", kata peneliti kelautan itu. Jika lapisannya menipis, itu dapat memicu lapisan es di daratan bergerak menuju laut. "Jika sampai di laut, lapisan es ini tidak perlu mencair untuk dapat menaikkan drastis muka air laut" tambah AntartikaFoto DW Perhitungan menunjukkan, proses ini dapat memicu penambahan kenaikan muka air laut rata-rata 4,4 milimeter per tahunnya. "Tapi itu perhitungan paling buruk. Kemungkinan kenaikannya berkisar pada angka yang lebih rendah", kata Hartmut Hellmer lebih lanjut. Namun diakui, sejauh ini belum diketahui seakurat apa model perhitungannya dibandingkan kenyataan yang muncul. Hellmer hanya mengatakan, berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, yang juga tidak banyak, model perubahan iklim di abad ke 20 ternyata cocok dengan kenyataan yang muncul kemudian. Walaupun begitu, periset kelautan dari Bremerhaven itu menegaskan, amat sulit membuat peramalan yang akurat bagi kawasan Kutub Selatan. Karena pengetahuan menyangkut kawasan Antartika sejauh ini masih relatif terbatas. Brigitte Osterath/Agus Setiawan Editor Dyan Kostermans
. 453 8 314 388 366 490 175 184
mencairnya es di kutub disinyalir hasil dari global warming